TETANUS
Gambaran
Klinis
Masa inkubasi berkisar antara 3-21 hari,
biasanya sekitar 8 hari. Secara umum, semakin jauh letak lesi dari system saraf
pusat, maka masa inkubasi juga semakin lama. Semakin singkat masa inkubasi,
semakin tinggi risiko kematian. Pada tetanus neonatal, gejala biasanya muncul
dari 4-14 hari setelah kelahiran, dengan
rata-rata 7 hari. Tetanus merupakan diagnose klinis dengan karakteristik trias
klasik yaitu:
·
Rigiditas otot
·
Spasme otot
·
Instabilitas otonom
Gejala awal tetanus meliputi kaku pada
leher, nyeri tenggorokan, disfagia dan trismus. Spasme otot yang terjadi sangat
nyeri, biasanya terjadi secara spontan namun dapat juga diprovokasi oleh
stimulus sentuhan, visual, auditori dan emosi. Spasme otot dapat terjadi sangat
intens sehingga mengakibatkan rupture tendon, dislokasi sendi dan fraktur
tulang. Spasme hingga otot wajah dapat mengakibatkan ekspresi wajah tipikal
pada pasien tetanus yang disebut dengan “risus sardonicus”. Spasme pada batang
tubuh mengakibatkan opisthotonus. Dalam kondisi spasme yang berkepanjangan,
hipoventilasi berat dan apnea yang mengancam jiwa dapat terjadi. Spasme
laryngeal juga terjadi mengakibatkan obstruksi jalan napas secara tiba-tiba dan
gagal napas. Tetanus yang berat berkaitan dengan instabilitas autonom. Serangan
biasanya terjadi beberapa hari setelah spasme dan dapat bertahan hingga 1-2
minggu. Peningkatan tonus simpatik mengakibatkan vasokonstriksi, takikardia dan
hipertensi.”Autonomik storms” berkaitan dengan peningkatan level katekolamin.
Dapat pula terjadi episode hipotensi mendadak, bradikardia dan asistole.
Manifestasi klinis lain dari gangguan autonom termasuk salvias, berkeringat,
peningkatan sekresi bronchial hiperpireksia, stasis lambung dan ileus.
Klasifikasi
Tetanus
1.
Tetanus lokal (lokalited Tetanus)
Pada lokal tetanus dijumpai adanya kontraksi otot
yang persisten, pada daerah tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan
fixator). Hal inilah merupakan tanda dari tetanus lokal. Kontraksi otot
tersebut biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa progressif
dan biasanya menghilang secara bertahap.
Lokal tetanus ini bisa berlanjut menjadi generalized
tetanus, tetapi dalam bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian.
Bisajuga lokal tetanus ini dijumpai sebagai prodromal dari klasik tetanus atau
dijumpai secara terpisah. Hal ini terutama dijumpai sesudah pemberian
profilaksis antitoksin.
2.
Cephalic tetanus
Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus.
Masa inkubasi berkisar 1-2 hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti
dilaporkan di India ), luka pada daerah muka dan kepala, termasuk adanya benda
asing dalam rongga hidung.
3.
Generalized Tetanus
Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering
menyebabkan komplikasi yang tidak dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena
gejala timbul secara diam-diam. Trismus merupakan gejala utama yang sering
dijumpai ( 50 %), yang disebabkan oleh kekakuan otot-otot masseter, bersamaan
dengan kekakuan otot leher yang menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan
menelan. Gejala lain berupa Risus Sardonicus (Sardonic grin) yakni spasme
otot-otot muka, opistotonus ( kekakuan otot punggung), kejang dinding perut.
Spasme dari laring dan otot-otot pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran
nafas, sianose asfiksia. Bisa terjadi disuria dan retensi urine,kompressi frak
tur dan pendarahan didalam otot. Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit,
tetapi begitupun bisa mencapai 40 C. Bila dijumpai hipertermi ataupun
hipotermi, tekanan darah tidak stabil dan dijumpai takhikardia, penderita
biasanya meninggal. Diagnosa ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis.
4.
Neotal tetanus
Biasanya disebabkan infeksi C. tetani, yang masuk
melalui tali pusat sewaktu proses pertolongan persalinan. Spora yang masuk
disebabkan oleh proses pertolongan persalinan yang tidak steril, baik oleh
penggunaan alat yang telah terkontaminasi spora C.tetani, maupun penggunaan
obat-obatan untuk tali pusat yang telah terkontaminasi. Kebiasaan menggunakan
alat pertolongan persalinan dan obat tradisional yang tidak steril,merupakan
faktor yang utama dalam terjadinya neonatal tetanus.
Derajat
Keparahan
Untuk menentukan
derajad keparahan penyakit, digunakan skala yang diusulkan oleh Abletts, yang
merupakan skala yang umum digunakan. Skala ini mengkategorikan pasien menjadi 4
tingkatan berdasarkan intensitas spasme dan keterlibatan respirasi serta system
saraf otonom.
Diagnosis
Diagnosis tetanus dapat
diketahui dari pemeriksaan fisik pasien. Berikut ini beberapa temuan klinis
pada pasien tetanus dari pemeriksaan fisik dan penunjang :
1. Kejang
tetanic, trismus, dysphagia, risus sardonicus ( sardonic smile ).
2. Adanya
luka yang mendahuluinya. Luka adakalanya sudah dilupakan.
3. Kultur:
C. tetani (+). Jarang dilakukan karena tidak selalu didapatkan bakteri
C.tetani.
4. Lab
: SGOT, CPK meninggi serta dijumpai myoglobinuria.
Petanalaksanaan
·
Tindakan umum
Jika
memungkinkan, pasien dengan tetanus sebaiknya diberi ruangan khusus atau
terpisah dengan pasien lainnya. Pasien tetanus sebaiknya ditempatkan di tempat yang
teduh, tenang dan terproteksi dari stimulasi auditori dan taktil. Semua luka
harus dibersihkan dan didebridemen. Merawat dan membersihkan luka
sebaik-baiknya, berupa membersihkan luka, irigasi luka, debridement luka
(eksisi jaringan nekrotik),membuang benda asing dalam luka serta kompres dengan
H202 , dalam hal ini penata laksanaan terhadap luka tersebut dilakukan 1-2 jam
setelah ATS dan pemberian antibiotika. Sekitar luka disuntik ATS.
·
Imunoterapi
Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus
Immunoglobulin ( TIG) dengan dosis 3000-6000 U, satu kali pemberian saja,
secara IM tidak boleh diberikan secara intravena karena TIG mengandung
"anti complementary aggregates of globulin ", yang mana ini dapat
mencetuskan reaksi allergi yang serius.
Bila TIG tidak ada, dianjurkan untuk menggunakan
tetanus antitoksin, yang berawal dari hewan, dengan dosis 40.000 U, dengan cara
pemberiannya adalah : 20.000 U dari antitoksin dimasukkan kedalam 200 cc cairan
NaC1 fisiologis dan diberikan secara intravena, pemberian harus sudah
diselesaikan dalam waktu 30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 U)
diberikan secara IM pada daerah pada sebelah luar.
Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang
pertama,dilakukan bersamaan dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang
berbeda dengan alat suntik yang berbeda. Pemberian dilakukan secara I.M.
Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai.
Berikut ini, tabel yang memperlihatkan petunjuk
pencegahan terhadap tetanus pada keadaan luka.
·
Antibiotik
Diberikan
parenteral Peniciline 1,2juta unit / hari selama 10 hari, IM. Sedangkan tetanus
pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit / KgBB/ 12 jam secafa IM
diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap peniciline, obat dapat
diganti dengan preparat lain seperti tetrasiklin dosis 30-40 mg/kgBB/ 24 jam,
tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan diberikan dalam dosis terbagi ( 4 dosis
). Bila tersedia Peniciline intravena, dapat digunakan dengan dosis 200.000
unit /kgBB/ 24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari.
Antibiotika
ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani, bukan untuk toksin
yang dihasilkannya.Selain itu, tetracyclines,
macrolides, clindamycin, cephalosporins dan chloramphenicol juga dapat
digunakan.
· Kontrol spasme otot
Penggunaan benzodiazepine lebih disukai.
Untuk dewasa, diazepam IV dapat diberikan dengan tambahan dosis 5 mg, atau
lorazepam dengan tambahan 2 mg, ditetapkan untuk mencapai control terhadap
spasme otot tanpa efek sedasi yang berlebihan dan hipoventilasi (untuk anak,
mulai pada dosis 0,1-0,2 mg/kg setiap 2-6 jam). Jumlah besar mungkin saja
diperlukan hingga 600 mg/hari).
Preparat oral dapat digunakan tetapi
harus dimonitoring secara hati-hati dan teliti untuk menghindari depresi napas
atau henti napas.
Magnesium sulfat dapat digunakan tunggal
atau dikombinasi dengan benzodiazepine untuk mengontrol spasme dan disfungsi
autonom dengan 5 gr (atau 75 mg/kg) IV sebagai dosis awal, kemudian 2-3 gr/jam
sampai spasme otot dapat dikontrol/ditatalaksanai dengan baik. Untuk
menghindari overdosis, monitoring refleks patella dimana areflexia (tidak
adanya refleks patella) dapat terjadi pada batas akhir dosis terapeutik
(4mmol/L). Jika areflexia terjadi, dosis sebaiknya diturunkan.
Obat-obat lainnya yang dapat digunakan
untuk mengontrol spasme otot termasuk baclofen, dantrolene (1-2 mg/kg IV atau
oral setiap 4 jam), barbiturate terutama short acting (100-150 mg setiap 1-4
jam pada dewasa, 6-10 mg/kg pada anak), dan klorpromazin (50-150 mg IM setiap
4-8 jam pada dewasa, 4-12 mg IM setiap 4-8 jam pada anak).
·
Kontrol disfungsi autonom
Magnesium
sulfat dapat digunakan seperti tersebut di atas, atau morfin. Golongan
β-blocker seperti propanolol juga digunakan sebelumnya tetapi dapat menyebabkan
hipotensi dan kematian mendadak, hanya esmalol yang saat ini direkomendasikan.
·
Kontrol jalan napas
Obat-obatan
yang digunakan untuk mengontrol spasme otot dan menyebabkan sedasi dapat
menimbulkan depresi pernapasan. Jika ventilasi mekanik tersedia, hal ini tidak
masalah. Jika tidak tersedia, pasien harus dimonitor secara teliti dan mengatur
agar pengontrolan spasme otot dan disfungsi autonom dapat maksimal sekaligus
menghindari depresi atau gagal napas. Jika spasme yang terjadi (termasuk spasme
laryngeal) menghalangi jalan napas, ventilasi mekanik direkomendasikan ketika
memungkinkan.
·
Nutrisi dan cairan yang adekuat
Nutrisi dan
cairan yang adekuat harus disediakan, diamana spasme pada tetanus mengakibatkan
meningkatnya metabolisme. Nutrisi yang baik pada pasien tetanus dapat
meningkatkan harapan hidupnya.
Pengobatan
menurut Adam .R.D. (1): Pada saat onset:
-
1,2 juta unit Procaine penicilin sehari
selama 10 hari, Intramuscular. Jika alergi beri tetracycline 2 gram sehari.
-
Perawatan luka, dibersihkan, sekitar
luka beri ATS (infiltrasi)
-
Semua penderita kejang tonik berulang,
lakukan trachcostomi, ini harus dilakukan tuk mencegah cyanosis dan apnoe.
-
Paraldehyde baik diberikan melalui
mulut.
-
Jika cara diatas gagal, dapat diberi
d-Lubocurarine IM dengan dosis 15 mg setiap jam sepanjang diperlukan, begitu
juga pernafasan dipertahankan dengan respirator.
Sedangkan
pengobatan menurut Gilroy:
- Kasus ringan :
Penderita tanpa cyanose : 90 - 180 begitu juga
promazine 6 jam dan barbiturat secukupnyanya untuk mengurangi spasme.
- Kasus berat :
1. Semua
penderita dirawat di ICU (satu team )
2. Dilakukan
tracheostomi segera. Endotracheal tube minimal harus dibersihkan setiap satu
jam dan setiap 3 hari ETT harus diganti dengan yang baru.
3. Curare
diberi secukupnya mencegah spasme sampai 2 jam. Pernafasan
dijaga dengan respirator oleh tenaga yang berpengalaman
4. Penderita
rubah posisi/ miringkan setiap 2 jam. Mata dibersihkan tiap 2 jam mencegah
conjuntivitis
5. Pasang
NGT, diet tinggi, cairan cukup tinggi
6. Urine
pasang kateter, beri antibiotika
7. Kontrol
serum elektrolit, ureum dan AGDA
8. Rontgen
foto thorax
9. Pemakaian
curare yang terlalu lama, pada saatnya obat dapat dihentikan pemakaiannya. Jika
KU membaik, NGT dihentikan. Tracheostomy dipertahankan beberapa hari, kemudian
dicabut/dibuka dan bekas luka dirawat dengan baik.
Prognosis
Prognosis tetanus
diklassikasikan dari tingkat keganasannya, dimana :
1.
Ringan; bila tidak adanya kejang umum (
generalized spsm )
2.
Sedang; bila sekali muncul kejang umum
3.
Berat ; bila kejang umum yang berat
sering terjadi.
Masa inkubasi neonatal
tetanus berkisar antara 3 -14 hari, tetapi bisa lebih pendek atau pun lebih
panjang. Berat ringannya penyakit juga tergantung pada lamanya masa inkubasi,
makin pendek masa inkubasi biasanya prognosa makin jelek.
Prognosa tetanus
neonatal jelek bila:
1.
Umur bayi kurang dari 7 hari
2.
Masa inkubasi 7 hari atau kurang
3.
Periode timbulnya gejala kurang dari 18
,jam
4.
Dijumpai muscular spasm.
Case Fatality Rate (
CFR) tetanus berkisar 44-55%, sedangkan tetanus neonatorum > 60%.
Komplikasi
Spasme
pita suara atau kekauan pada otot-otot respirasi akan menyebabkan gangguan
bernapas. Fraktur tulang belakang dapat terjadi karena adanya kejang yang
berulang. Hiperaktif dari sistem saraf otonom dapat menyebabkan hipertensi atau
irama jantung yang abnormal. Infeksi nosokomial juga akan terjadi karena
lamanya pasien dirawat inap. Infeksi sekunder dapat terjadi seperti sepsis
akibat pemasangan kateter, pneumonia, dan bisul dekubitus. Pulmonary embolism
terjadi terutama pada pasien yang menggunakan narkotika dan usia tua. Aspirasi
juga dapat terjadi namun ini merupakan komplikasi yang muncul biasanya dalam
jangka waktu yang lama setelah menderita tetanus, dan ditemukan pada 50%-70%
kasus otopsi.
Dalam
beberapa tahun terakhir ini tetanus dapat mengakibatkan komplikasi yang fatal
sekitar 11% dari kasus yang ditemukan. Kasus yang paling mungkin berakibat
fatal adalah yang terjadi pada mereka yang usianya ≥ 60 tahun (18%) dan
orang-orang yang tidak divaksinasi (22%). Pada sekitar 20% kematian tetanus
tidak dapat diidentifikasi secara jelas apakah kematian tersebut merupakan efek
langsung dari toksinnya ataukah hal lain.
Table
Komplikasi-Komplikasi Tetanus:
Sistem
|
Komplikasi
|
Jalan
napas
Respirasi
Kardiovaskuler
Ginjal
Gastrointestinal
Lain-lain
|
Aspirasi , laringospasme/obstruksi, obstruksi yang
berkaitan dengan sedative
Apneu, hipoksia, gagal napas tipe 1 (atelektasis,
aspirasi, pneumonia,), gagal napas tipe 2 (spasme laryngeal, spasme trunkal
berkepanjangan, sedasi berlebihan), komplikasi bantuan ventilasi
berkepanjangan (pneumoni), komplikasi trakeostomi (stenosis trakea)
Takikardi, hipertensi, iskemia, hipotensi,
bradikardi, takiaritmia, bradiaritmia, asistol, gagal jantung
Gagal ginjal curah tinggi, gagal ginjal oliguria,
stasis urin dan infeksi
Stasis gaster, ileus, diare, perdarahan
Penurunan berat badan, tromboembolis, sepsis dengan
gagal multiple organ, fraktur vertebra selama spasme, rupture tendon akibat
spasme
|
Pencegahan
Seorang penderita yang
terkena tetanus tidak imun terhadap serangan ulangan artinya dia mempunyai
kesempatan yang sama untuk mendapat tetanus bila terjadi luka sama seperti
orang lainnya yang tidak pernah di imunisasi. Tidak terbentuknya kekebalan pada
penderita setelah ianya sembuh dikarenakan toksin yang masuk kedalam tubuh
tidak sanggup untuk merangsang pembentukkan antitoksin ( karena tetanospamin
sangat poten dan toksisitasnya bisa sangat cepat, walaupun dalam konsentrasi
yang minimal, yang mana hal ini tidak dalam konsentrasi yang adekuat untuk
merangsang pembentukan kekebalan).
Ada beberapa kejadian
dimana dijumpai natural imunitas. Hal ini diketahui sejak C. tetani dapat
diisolasi dari tinja manusia. Mungkin organisme yang berada didalam lumen usus
melepaskan imunogenic quantity dari toksin. Ini diketahui dari toksin dijumpai
anti toksin pada serum seseorang dalam riwayatnya belum pernah di imunisasi,
dan dijumpai/adanya peninggian titer antibodi dalam serum yang karakteristik
merupakan reaksi secondary imune response pada beberapa orang yang diberikan
imunisasi dengan tetanus toksoid untuk pertama kali.
Dengan dijumpai natural
imunitas ini, hal ini mungkin dapat menjelaskan mengapa insiden tetanus tidak
tinggi, seperti yang semestinya terjadi pada beberapa negara dimana pemberian
imunisasi tidak lengkap/ tidak terlaksana dengan baik.
Sampai pada saat ini pemberian
imunisasi dengan tetanus toksoid merupakan satu-satunya cara dalam pencegahan
terjadinya tetanus. Pencegahan dengan pemberian imunisasi telah dapat dimulai
sejak anak berusia 2 bulan, dengan cara pemberian imunisasi aktif( DPT atau DT
).
Putu Udyani Agustina (H1A008047)
Sumber :
IPD
Ritarwan, K. 2004. Tetanus. Bagian
Neurologi FK USU/RSU Adam Malik. Medan