Minggu, 02 Februari 2014

TETANUS



TETANUS

Gambaran Klinis

Masa inkubasi berkisar antara 3-21 hari, biasanya sekitar 8 hari. Secara umum, semakin jauh letak lesi dari system saraf pusat, maka masa inkubasi juga semakin lama. Semakin singkat masa inkubasi, semakin tinggi risiko kematian. Pada tetanus neonatal, gejala biasanya muncul dari 4-14  hari setelah kelahiran, dengan rata-rata 7 hari. Tetanus merupakan diagnose klinis dengan karakteristik trias klasik yaitu:
·                     Rigiditas otot
·                     Spasme otot
·                     Instabilitas otonom
Gejala awal tetanus meliputi kaku pada leher, nyeri tenggorokan, disfagia dan trismus. Spasme otot yang terjadi sangat nyeri, biasanya terjadi secara spontan namun dapat juga diprovokasi oleh stimulus sentuhan, visual, auditori dan emosi. Spasme otot dapat terjadi sangat intens sehingga mengakibatkan rupture tendon, dislokasi sendi dan fraktur tulang. Spasme hingga otot wajah dapat mengakibatkan ekspresi wajah tipikal pada pasien tetanus yang disebut dengan “risus sardonicus”. Spasme pada batang tubuh mengakibatkan opisthotonus. Dalam kondisi spasme yang berkepanjangan, hipoventilasi berat dan apnea yang mengancam jiwa dapat terjadi. Spasme laryngeal juga terjadi mengakibatkan obstruksi jalan napas secara tiba-tiba dan gagal napas. Tetanus yang berat berkaitan dengan instabilitas autonom. Serangan biasanya terjadi beberapa hari setelah spasme dan dapat bertahan hingga 1-2 minggu. Peningkatan tonus simpatik mengakibatkan vasokonstriksi, takikardia dan hipertensi.”Autonomik storms” berkaitan dengan peningkatan level katekolamin. Dapat pula terjadi episode hipotensi mendadak, bradikardia dan asistole. Manifestasi klinis lain dari gangguan autonom termasuk salvias, berkeringat, peningkatan sekresi bronchial hiperpireksia, stasis lambung dan ileus.
Text Box: Kharekteristik dari tetanus
• Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap selama 5 -7 hari.
• Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekwensinya
• Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.
• Biasanya didahului dengan ketegangaan otot terutama pada rahang dari leher. Kemudian timbul kesukaran membuka mulut ( trismus, lockjaw ) karena spasme Otot masetter.
• Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk ( opistotonus , nuchal rigidity )
• Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis tertarik keatas, sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat .
• Gambaran Umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus, tungkai dengan
• Eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran tetap baik.
• Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan sianosis, retensi urin, bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis ( pada anak ).
Klasifikasi Tetanus
1.      Tetanus lokal (lokalited Tetanus)
Pada lokal tetanus dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada daerah tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator). Hal inilah merupakan tanda dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa progressif dan biasanya menghilang secara bertahap.
Lokal tetanus ini bisa berlanjut menjadi generalized tetanus, tetapi dalam bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian. Bisajuga lokal tetanus ini dijumpai sebagai prodromal dari klasik tetanus atau dijumpai secara terpisah. Hal ini terutama dijumpai sesudah pemberian profilaksis antitoksin.
2.      Cephalic tetanus
Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi berkisar 1-2 hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti dilaporkan di India ), luka pada daerah muka dan kepala, termasuk adanya benda asing dalam rongga hidung.


3.      Generalized Tetanus
Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan komplikasi yang tidak dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara diam-diam. Trismus merupakan gejala utama yang sering dijumpai ( 50 %), yang disebabkan oleh kekakuan otot-otot masseter, bersamaan dengan kekakuan otot leher yang menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan. Gejala lain berupa Risus Sardonicus (Sardonic grin) yakni spasme otot-otot muka, opistotonus ( kekakuan otot punggung), kejang dinding perut. Spasme dari laring dan otot-otot pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianose asfiksia. Bisa terjadi disuria dan retensi urine,kompressi frak tur dan pendarahan didalam otot. Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi begitupun bisa mencapai 40 C. Bila dijumpai hipertermi ataupun hipotermi, tekanan darah tidak stabil dan dijumpai takhikardia, penderita biasanya meninggal. Diagnosa ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis.
4.      Neotal tetanus
Biasanya disebabkan infeksi C. tetani, yang masuk melalui tali pusat sewaktu proses pertolongan persalinan. Spora yang masuk disebabkan oleh proses pertolongan persalinan yang tidak steril, baik oleh penggunaan alat yang telah terkontaminasi spora C.tetani, maupun penggunaan obat-obatan untuk tali pusat yang telah terkontaminasi. Kebiasaan menggunakan alat pertolongan persalinan dan obat tradisional yang tidak steril,merupakan faktor yang utama dalam terjadinya neonatal tetanus.

Derajat Keparahan
Untuk menentukan derajad keparahan penyakit, digunakan skala yang diusulkan oleh Abletts, yang merupakan skala yang umum digunakan. Skala ini mengkategorikan pasien menjadi 4 tingkatan berdasarkan intensitas spasme dan keterlibatan respirasi serta system saraf otonom.

Diagnosis
Diagnosis tetanus dapat diketahui dari pemeriksaan fisik pasien. Berikut ini beberapa temuan klinis pada pasien tetanus dari pemeriksaan fisik dan penunjang :
1.      Kejang tetanic, trismus, dysphagia, risus sardonicus ( sardonic smile ).
2.      Adanya luka yang mendahuluinya. Luka adakalanya sudah dilupakan.
3.      Kultur: C. tetani (+). Jarang dilakukan karena tidak selalu didapatkan bakteri C.tetani.
4.      Lab : SGOT, CPK meninggi serta dijumpai myoglobinuria.

Petanalaksanaan
·      Tindakan umum
Jika memungkinkan, pasien dengan tetanus sebaiknya diberi ruangan khusus atau terpisah dengan pasien lainnya. Pasien tetanus sebaiknya ditempatkan di tempat yang teduh, tenang dan terproteksi dari stimulasi auditori dan taktil. Semua luka harus dibersihkan dan didebridemen. Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa membersihkan luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan nekrotik),membuang benda asing dalam luka serta kompres dengan H202 , dalam hal ini penata laksanaan terhadap luka tersebut dilakukan 1-2 jam setelah ATS dan pemberian antibiotika. Sekitar luka disuntik ATS.
·      Imunoterapi
Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin ( TIG) dengan dosis 3000-6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM tidak boleh diberikan secara intravena karena TIG mengandung "anti complementary aggregates of globulin ", yang mana ini dapat mencetuskan reaksi allergi yang serius.
Bila TIG tidak ada, dianjurkan untuk menggunakan tetanus antitoksin, yang berawal dari hewan, dengan dosis 40.000 U, dengan cara pemberiannya adalah : 20.000 U dari antitoksin dimasukkan kedalam 200 cc cairan NaC1 fisiologis dan diberikan secara intravena, pemberian harus sudah diselesaikan dalam waktu 30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 U) diberikan secara IM pada daerah pada sebelah luar.
Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama,dilakukan bersamaan dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang berbeda. Pemberian dilakukan secara I.M. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai.
Berikut ini, tabel yang memperlihatkan petunjuk pencegahan terhadap tetanus pada keadaan luka.
·      Antibiotik
Diberikan parenteral Peniciline 1,2juta unit / hari selama 10 hari, IM. Sedangkan tetanus pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit / KgBB/ 12 jam secafa IM diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain seperti tetrasiklin dosis 30-40 mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan diberikan dalam dosis terbagi ( 4 dosis ). Bila tersedia Peniciline intravena, dapat digunakan dengan dosis 200.000 unit /kgBB/ 24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari.
Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani, bukan untuk toksin yang dihasilkannya.Selain itu, tetracyclines, macrolides, clindamycin, cephalosporins dan chloramphenicol juga dapat digunakan.
·      Kontrol spasme otot
Penggunaan benzodiazepine lebih disukai. Untuk dewasa, diazepam IV dapat diberikan dengan tambahan dosis 5 mg, atau lorazepam dengan tambahan 2 mg, ditetapkan untuk mencapai control terhadap spasme otot tanpa efek sedasi yang berlebihan dan hipoventilasi (untuk anak, mulai pada dosis 0,1-0,2 mg/kg setiap 2-6 jam). Jumlah besar mungkin saja diperlukan hingga 600 mg/hari).
Preparat oral dapat digunakan tetapi harus dimonitoring secara hati-hati dan teliti untuk menghindari depresi napas atau henti napas.
Magnesium sulfat dapat digunakan tunggal atau dikombinasi dengan benzodiazepine untuk mengontrol spasme dan disfungsi autonom dengan 5 gr (atau 75 mg/kg) IV sebagai dosis awal, kemudian 2-3 gr/jam sampai spasme otot dapat dikontrol/ditatalaksanai dengan baik. Untuk menghindari overdosis, monitoring refleks patella dimana areflexia (tidak adanya refleks patella) dapat terjadi pada batas akhir dosis terapeutik (4mmol/L). Jika areflexia terjadi, dosis sebaiknya diturunkan.
Obat-obat lainnya yang dapat digunakan untuk mengontrol spasme otot termasuk baclofen, dantrolene (1-2 mg/kg IV atau oral setiap 4 jam), barbiturate terutama short acting (100-150 mg setiap 1-4 jam pada dewasa, 6-10 mg/kg pada anak), dan klorpromazin (50-150 mg IM setiap 4-8 jam pada dewasa, 4-12 mg IM setiap 4-8 jam pada anak).
·      Kontrol disfungsi autonom
Magnesium sulfat dapat digunakan seperti tersebut di atas, atau morfin. Golongan β-blocker seperti propanolol juga digunakan sebelumnya tetapi dapat menyebabkan hipotensi dan kematian mendadak, hanya esmalol yang saat ini direkomendasikan.
·      Kontrol jalan napas
Obat-obatan yang digunakan untuk mengontrol spasme otot dan menyebabkan sedasi dapat menimbulkan depresi pernapasan. Jika ventilasi mekanik tersedia, hal ini tidak masalah. Jika tidak tersedia, pasien harus dimonitor secara teliti dan mengatur agar pengontrolan spasme otot dan disfungsi autonom dapat maksimal sekaligus menghindari depresi atau gagal napas. Jika spasme yang terjadi (termasuk spasme laryngeal) menghalangi jalan napas, ventilasi mekanik direkomendasikan ketika memungkinkan.
·      Nutrisi dan cairan yang adekuat
Nutrisi dan cairan yang adekuat harus disediakan, diamana spasme pada tetanus mengakibatkan meningkatnya metabolisme. Nutrisi yang baik pada pasien tetanus dapat meningkatkan harapan hidupnya.

Pengobatan menurut Adam .R.D. (1): Pada saat onset:
-            1,2 juta unit Procaine penicilin sehari selama 10 hari, Intramuscular. Jika alergi beri tetracycline 2 gram sehari.
-            Perawatan luka, dibersihkan, sekitar luka beri ATS (infiltrasi)
-            Semua penderita kejang tonik berulang, lakukan trachcostomi, ini harus dilakukan tuk mencegah cyanosis dan apnoe.
-            Paraldehyde baik diberikan melalui mulut.
-            Jika cara diatas gagal, dapat diberi d-Lubocurarine IM dengan dosis 15 mg setiap jam sepanjang diperlukan, begitu juga pernafasan dipertahankan dengan respirator.

Sedangkan pengobatan menurut Gilroy:
- Kasus ringan :
Penderita tanpa cyanose : 90 - 180 begitu juga promazine 6 jam dan barbiturat secukupnyanya untuk mengurangi spasme.
- Kasus berat :
1.      Semua penderita dirawat di ICU (satu team )
2.      Dilakukan tracheostomi segera. Endotracheal tube minimal harus dibersihkan setiap satu jam dan setiap 3 hari ETT harus diganti dengan yang baru.
3.      Curare diberi secukupnya mencegah spasme sampai 2 jam. Pernafasan dijaga dengan respirator oleh tenaga yang berpengalaman
4.      Penderita rubah posisi/ miringkan setiap 2 jam. Mata dibersihkan tiap 2 jam mencegah conjuntivitis
5.      Pasang NGT, diet tinggi, cairan cukup tinggi
6.      Urine pasang kateter, beri antibiotika
7.      Kontrol serum elektrolit, ureum dan AGDA
8.      Rontgen foto thorax
9.      Pemakaian curare yang terlalu lama, pada saatnya obat dapat dihentikan pemakaiannya. Jika KU membaik, NGT dihentikan. Tracheostomy dipertahankan beberapa hari, kemudian dicabut/dibuka dan bekas luka dirawat dengan baik.

Prognosis
Prognosis tetanus diklassikasikan dari tingkat keganasannya, dimana :
1.      Ringan; bila tidak adanya kejang umum ( generalized spsm )
2.      Sedang; bila sekali muncul kejang umum
3.      Berat ; bila kejang umum yang berat sering terjadi.
Masa inkubasi neonatal tetanus berkisar antara 3 -14 hari, tetapi bisa lebih pendek atau pun lebih panjang. Berat ringannya penyakit juga tergantung pada lamanya masa inkubasi, makin pendek masa inkubasi biasanya prognosa makin jelek.
Prognosa tetanus neonatal jelek bila:
1.      Umur bayi kurang dari 7 hari
2.      Masa inkubasi 7 hari atau kurang
3.      Periode timbulnya gejala kurang dari 18 ,jam
4.      Dijumpai muscular spasm.
Case Fatality Rate ( CFR) tetanus berkisar 44-55%, sedangkan tetanus neonatorum > 60%.

Komplikasi
Spasme pita suara atau kekauan pada otot-otot respirasi akan menyebabkan gangguan bernapas. Fraktur tulang belakang dapat terjadi karena adanya kejang yang berulang. Hiperaktif dari sistem saraf otonom dapat menyebabkan hipertensi atau irama jantung yang abnormal. Infeksi nosokomial juga akan terjadi karena lamanya pasien dirawat inap. Infeksi sekunder dapat terjadi seperti sepsis akibat pemasangan kateter, pneumonia, dan bisul dekubitus. Pulmonary embolism terjadi terutama pada pasien yang menggunakan narkotika dan usia tua. Aspirasi juga dapat terjadi namun ini merupakan komplikasi yang muncul biasanya dalam jangka waktu yang lama setelah menderita tetanus, dan ditemukan pada 50%-70% kasus otopsi.
Dalam beberapa tahun terakhir ini tetanus dapat mengakibatkan komplikasi yang fatal sekitar 11% dari kasus yang ditemukan. Kasus yang paling mungkin berakibat fatal adalah yang terjadi pada mereka yang usianya ≥ 60 tahun (18%) dan orang-orang yang tidak divaksinasi (22%). Pada sekitar 20% kematian tetanus tidak dapat diidentifikasi secara jelas apakah kematian tersebut merupakan efek langsung dari toksinnya ataukah hal lain.
Table Komplikasi-Komplikasi Tetanus:
Sistem
Komplikasi
Jalan napas

Respirasi




Kardiovaskuler

Ginjal

Gastrointestinal
Lain-lain
Aspirasi , laringospasme/obstruksi, obstruksi yang berkaitan dengan sedative
Apneu, hipoksia, gagal napas tipe 1 (atelektasis, aspirasi, pneumonia,), gagal napas tipe 2 (spasme laryngeal, spasme trunkal berkepanjangan, sedasi berlebihan), komplikasi bantuan ventilasi berkepanjangan (pneumoni), komplikasi trakeostomi (stenosis trakea)
Takikardi, hipertensi, iskemia, hipotensi, bradikardi, takiaritmia, bradiaritmia, asistol, gagal jantung
Gagal ginjal curah tinggi, gagal ginjal oliguria, stasis urin dan infeksi
Stasis gaster, ileus, diare, perdarahan
Penurunan berat badan, tromboembolis, sepsis dengan gagal multiple organ, fraktur vertebra selama spasme, rupture tendon akibat spasme



Pencegahan
Seorang penderita yang terkena tetanus tidak imun terhadap serangan ulangan artinya dia mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapat tetanus bila terjadi luka sama seperti orang lainnya yang tidak pernah di imunisasi. Tidak terbentuknya kekebalan pada penderita setelah ianya sembuh dikarenakan toksin yang masuk kedalam tubuh tidak sanggup untuk merangsang pembentukkan antitoksin ( karena tetanospamin sangat poten dan toksisitasnya bisa sangat cepat, walaupun dalam konsentrasi yang minimal, yang mana hal ini tidak dalam konsentrasi yang adekuat untuk merangsang pembentukan kekebalan).
Ada beberapa kejadian dimana dijumpai natural imunitas. Hal ini diketahui sejak C. tetani dapat diisolasi dari tinja manusia. Mungkin organisme yang berada didalam lumen usus melepaskan imunogenic quantity dari toksin. Ini diketahui dari toksin dijumpai anti toksin pada serum seseorang dalam riwayatnya belum pernah di imunisasi, dan dijumpai/adanya peninggian titer antibodi dalam serum yang karakteristik merupakan reaksi secondary imune response pada beberapa orang yang diberikan imunisasi dengan tetanus toksoid untuk pertama kali.
Dengan dijumpai natural imunitas ini, hal ini mungkin dapat menjelaskan mengapa insiden tetanus tidak tinggi, seperti yang semestinya terjadi pada beberapa negara dimana pemberian imunisasi tidak lengkap/ tidak terlaksana dengan baik.
Sampai pada saat ini pemberian imunisasi dengan tetanus toksoid merupakan satu-satunya cara dalam pencegahan terjadinya tetanus. Pencegahan dengan pemberian imunisasi telah dapat dimulai sejak anak berusia 2 bulan, dengan cara pemberian imunisasi aktif( DPT atau DT ).

Putu Udyani Agustina (H1A008047)
Sumber :
IPD
Ritarwan, K. 2004. Tetanus. Bagian Neurologi FK USU/RSU Adam Malik. Medan